Indonesia Bukan Bangsa Tempe

oleh
Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya, Surabaya.

Surabaya, Pancarkan.com – Upaya untuk merendahkan nilai bangsa Indonesia sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Melalui sidang Raad Van Indie, Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan bahwa bangsa Indonesia cukup nafkahnya 2,5 sen (segobang) sehari.

Bung Karno sangat marah dan menuding Pemerintah Hindia Belanda sengaja merendahkan martabat bangsa Indonesia. “Bukan cukup tetapi terpaksa untuk cukup,” teriak  Sukarno muda kala itu.

Kini muncul lagi hasil survei dan mempublikasikan peringkat kualitas pendidikan bangsa Indonesia yang menempati urutan kesekian, setelah Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, Philipina.  Kita tidak mengerti ukuran, para meter survey tersebut.

Apakah memakai parameter yang sudah detail, obyektif atau mempunyai tujuan-tujuan lain. Dengan bertumpu hasil survei tersebut maka pada gilirannya ditentukan tingkat kebutuhan setiap keluarga masyarakat Indonesia. Lantas muncul penentuan Upah Minimum Regional (UMR).

Dan ini sebagai pembenar untuk membayar upah buruh Indonesia. Cukup sekian upah buruh, sebab kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dari beberapa negara di Asia. Dengan demikian bila buruh Indonesia dibayar UMR adalah sudah cukup.

Padahal sejatinya, bila ditinjau dari pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan anak, makan sehari-hari serta kebutuhan dasar lainnya, UMR bukanlah sudah cukup, namun terpaksa untuk cukup, di cukup-cukupkan.

Maka seharusnya untuk menentukan kualitas bangsa, tidak hanya saja pada hasil pendidikan formal, tetapi seyogyanya ditilik juga dari hasil karya-karya lainnya. Misal, karya sastra, seni musik, lukis, kuliner, arsitektur, ilmu pengetahuan serta teknologi karya putra-putri Indonesia. Karya-karya tersebut sudah banyak yang mendapat penghargaan dari negara manca. Apabila butuh tinjauannya, maka, “Indonesia Bukan Bangsa Tempe.”

Penulis: Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya, Surabaya.

No More Posts Available.

No more pages to load.